Selasa, 28 Juni 2011

rabbit

Story Title : rabbit life story
Author : Airie Hoshino 〚あいりえ〛
Pairings artist: RitsuXAi
Introduce:
~~Ritsuka kazama as Ritsu-kun
~~Airie hoshino as Ai-chan
Genre : Romance, Daily Life activity, a bit of comedy,many more u can find it on this story. Enjoy, please!^^
Chapter : 1/7
Rating : *****
Disclaimer : story ini di buat berdasarkan hasil imagine saia dan cerita ini adalah sepenuhnya hak cipta berada di tangan saia. This story is originaly made in me. Actually, this is a my old fiction story,(although, ada sebagian cerita berdasarkan pengalaman nyata saia sbg sang author :p ). So~ please DON’T rabbing unless if u’re not have my permit! There, u can follow and givin’ me a comment, suggestion, some Que and whatever u may for my next better story. Sankyuu before ^^
Author prologue: I have this a story idea when I was listened a song “FLY ME TO THE MOON, LOVELY DAY, EYES ON ME, WITHOUT WORDS, CAN YOU HEAR ME?, STILL AS EVER, NOTHIN’ GONNA CHANGE MY LOVE FOR U, and I PROMISE U” lol.. ahahaha..
yea, hope u’ll be enjoyin’ this and givin’ a rate for this (un)important story..
Let’s check this out, reader! :D




chapter 1 : under the rains...

I'm watching, riding the heavy rain
Your voice disappears into the sound of the rain
I looked at the sky that seemed to be crying
Seeming to be crying, you closed your eyes
How long will I be waiting?
A silver raindrop falls between the two of us

888888888888888888888888888888888888888888888888

Langit tampak mendung, angin bertiup tak ramah dan menggamburkan daun-daun kering yang tergeletak di tanah. Aku meraba sebuah kaca tipis dan ku hembuskan nafasku yang sesal. Aku duduk di pinggiran jendela di kamar. Lembaran kain gordeyn jendela berterbangan ke arahku terasa lembut beraturan menyentuh pipiku. Aku menatap lurus kedepan dan kemudian melongohkan wajahku ke arah langit yang mulai menggelap. Aku masih mengenakan sehelai pakaian tidur berwarna putih tipis dan mukaku pun masih pucat pasi. Memang kemarin aku sakit, tapi aku sudah terbiasa. Lagi pula, tidak ada yang peduli padaku. Aku hanya tinggal seorang diri di sebuah apartement mewah yang di tinggalkan oleh orang tuaku sebelum mereka pergi dengan kehidupan mereka. Aku menatap layar ponselku. Ku lihat beberapa sms menumpuk tapi aku malas untuk menjawab ataupun mempedulikannya. Aku bangkit dan duduk di sebuah kaca besar lalu, kurapikan rambutku. Aku berjalan menuruni tangga dan mengambil segelas anggur merah dari botol yang sudah tersedia di meja. Aku berjalan ke ruang depan dan kulihat serangkai bunga crissan putih kesukaan ibuku dalam vas putih segar , kini nampak layu tak terawat. Aku kembali masuk dalam kamarku. Aku menutup gordeyn dan ku tutup mukaku dengan bantal. Air mataku mulai mengalir. Entah mengapa aku mulai menangis. Dadaku sesak. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Tiba-tiba ponselku bergetar, tertera sebuah nama di layar. Saat ini aku sedang tidak ingin berbicara pada siapapun. Sudah 5 kali ponselku berdering tetapi aku tetap saja tidak mempedulikannya. Sampai 12 kali panggilan tak terjawab dan sampai pada akhirnya 3 buah e-mail masuk di ponselku. Tanganku tergerak penasaran. Segera saja ku sambar ponselku itu, dan kubaca satu persatu pesan yang di kirimkan ke nomerku secara runtut. Kata demi kata yang membentuk sebuah kalimat singkat. Sepertinya sang pengirim sedang khawatir terhadapku. Hal itu ku sadari dari kalimat-kalimat canggung yang tersusun di dalam pesan e-mail tersebut. Tiba-tiba bel berbunyi, mungkin ada tamu pikirku. Kulihat cermin untuk memastikan penampilanku tidak berantakan. Aku berjalan menuju pintu depan sambil merapikan rambutku.
Aku membuka pintu. Kulihat seseorang dengan postur tubuh tinggi tegap dan wajah yang tampak khawatir. Kak ritsu rupanya. Dia adalah pacarku. Dari raut wajahnya yang cemas, pucat dan berkeringat. Yea, mungkin dia menuju kemari dengan terburu-buru karena jelas terlihat dari nafasnya yang tersengal.
“Ai? Apa kamu baik-baik saja?! Aku sangat khawatir dengan kondisimu. Aku sudah meneleponmu berkali-kali tapi hanya pesan mailbox yang kudengar. Untuk itulah aku datang kemari.” katanya dengan nada suara yang agak bergetar.
“Ai, mukamu pucat. Apa kau sakit? Kau demam. “ tangan besarnya seketika meraba keningku.
“Ai, kenapa kau tidak member itahuku kalau kau sakit? Tanganmu sangat dingin.” Ia menggengam tanganku erat, kemudian memelukku dalam dekapannya. Aku diam dengan setetes air mata yang meleleh di pipiku.
Aku masih terdiam memandanginya tanpa sepatah katapun yang keluar dari tenggorokanku. Aku ingin sekali berbicara, tapi aku tidak bisa. Rasanya ada sesuatu benda yang menyumbat pita suaraku. Setelah itu, Ia membopohku masuk dan kamipun duduk di sofa ruang tengah. Aku menyandarkan kepalaku di kursi. Dia segera masuk kedapur untuk mengambil segelas air minum dan es untuk mengompresku.
Aku masih duduk di sofa menunggunya. Tak lama kemudian ia datang. Sebaskom es dengan handuk kecil basah berwarna biru muda dan secangkir susu hangat kesukaanku ia bawakan untukku. Kak Ritsu duduk tepat di sampingku. Handuk basahnya ia letakkan di atas dahiku, dan badanku di rebahkan ke pangkuannya. Aku memejamkan mata. Tak terasa air mataku kembali turun.
“kakak... maafkan ai ya..”akhirnya suaraku berhasil keluar walau sangat pelan.
“sudahlah,ai.. bukan salahmu. Kau hanya kacau hari ini. Kau sedang sakit. Sudah istirahat saja. Nanti aku akan menelepon tempat kerjamu untuk meminta ijin.”
“ta, tapii... kak....”
“sudah ai, tidak apa-apa. Kau sudah terlalu sering memaksakan dirimu. Aku tidak akan membiarkanmu tersiksa karena kau terlalu sering memforsir tubuhmu.” Katanya sambil mengelus kepalaku perlahan.
Aku terdiam membisu. Kepalaku sangat sakit. Rasanya benda di sekelilingku berputar. Aneh. Tetapi entah kenapa, rasanya kali ini benar-benar berbeda. Atmosfer di sekelilingku berubah menjadi tenang. Aku tidak lagi merasakan kegelisahan. Aku akhirnya tertidur di pangkuan kak ritsu. Ia masih terus merawatku. Kurasakan belaian tangan hangatnya menyentuh wajahku perlahan. Air dingin dari es membuat tubuhku gemetar. Kemudian ritsu menarik selimutku sampai dagu. Aku tahu dia sangat menyayangiku.
Jam demi jam berlalu. Aku masih terlelap. Sekilas aku merasakan sesuatu yang sangat lembut. Manis dan basah. Ia menciumku rupanya. Mataku terbuka sedikit walau masih terkantuk. Wajahku memerah bata. Aku terbangun dan bangkit dari pangkuanya. Aku kaget. Akupun bergegas pergi meninggalkannya. Aku berjalan terhuyung-huyung tanpa arah. Kurasa aku masih linglung. Aku berjalan menuju anak tangga. Tetapi, tiba-tiba semua menjadi gelap. Tanpa sadar aku telah terjatuh.
Aku tidak bisa melihat apapun di sini. Aku hanya bisa mendengar suara-suara yang samar.suara teriakan, teriakan yang panik. Tubuhku seperti diguncang dan di hempas ke suatu benda yang sangat tajam. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya aku semakin terhanyut oleh suasana yang asing dan gelap ini. Aku tenggelam ke dasar kegelapan tak berujung.
Di dalam bawah sadarku, aku melihat suatu cahaya yang sangat terang. Entah mengapa, kakiku langsung tertarik maju kearah cahaya itu. Aku tidak bisa menahan atmosfer dan kekuatan kakiku yang terus melangkah ke arah lubang misterius itu.
Saat terakhir aku melangkahkan kaki. Tiba-tiba tanganku ditarik untuk segera keluar dari tempat itu. Aku sempat melihat orang yang sanggup menyelamatkanku itu. Ia mengenakan jas toxedo warna putih yang terlihat sangat rapi dan mewah. Senyumannya tak akan pernah ku lupakan. Ia adalah orang yang sangat berharga di hatiku.
Kak RITSUU....

88888888888888888888888888888888888888888888888888888888

Aku terbangun dari tidurku. Mataku perlahan terbuka dan mulai memperhatikan kondisi sekitar. Aku masih belum bisa berfikir karena kepalaku rasanya sangat sakit. Aku mulai mencermati lingkungan ini. Tembok-tembok tinggi bercatkan warna abu-abu dan biru pucat menghiasi setiap sudut ruangan dengan ukuran 4x4 m tersebut. Sekilas tercium aroma obat dan desinfectan yang tersebar dimana-mana.
Tangan kiri ku angkat. Sebuah selang panjang berjarum menusuk kulitku. Aku juga meraba perih di keningku yang sepertinya di perban karena efek jatuh dari tangga. Kemudian, Aku menolehkan kepalaku kearah kanan. Seseorang sudah menemaniku di saat aku tidak sadar tadi.
Kakak..
‘apakah ia menemaniku sedari tadi?’ batinku.
Aku mengamati wajahnya seksama dan detail.
Wajahnya begitu nampak pucat bercampur lelah, khawatir dan cemas. Tetap ia setia menungguku sampai aku terbangun kini.
“dasar bodoh! pasti kau sangat lelah dan cemas padaku.”
Aku mengusap kepalanya. Aku membelai rambutnya yang halus,tebal dan lembut. Aroma shampoo yang ia kenakan tercium khas olehku. Aku tersenyum simpul.
“hey, bodoh! Kenapa kau menemaniku sampai larut begini? Kau khan capek. Lihatlah kau tidur sangat nyenyak. Dasarr.. anak aneh..“ gerutuku.
Wajahnya begitu polos, cerah, dan terasa damai ketika tidur.
Aku tertawa kecil. Lalu, kembali mengusap kepalanya. Sejak aku tidak sadarkan diri, dia terus memegang tangan kananku erat.
Aku mencoba untuk sedikit bangkit, walaupun tubuhku terasa sangat berat dan lemas. Aku dengan nakal mencium keningnya.
Tiba-tiba Ia tersentak bangun.
“ai???!!!!”
“kau sudah sadar? Syukurlah.. aku sangat mengkhawatirkanmu..”
“aku tidak apa.” Jawabku dengan sebuah simpul senyum kecil sebagai isyarat menandakan aku dalam keadaan baik kepadanya.
“kau ituu ai!! Selalu saja tidak mau membuat orang lain repot. Kenapa kau tidak menceritakan tentang kondisimu yang sebenarnya jauh hari?” pandangannya menatap tajam penuh ingin tahu. Ia Nampak ingin mendengar jawabku.
“maaf. Aku tidak bisa bercerita hal yang sebenarnya padamu. Aku tidak mau kau ikut menanggung dan merasakan penderitaanku.”aku berpaling. Rasanya aku sangat merasa bersalah untuk menatapnya. Gara-gara aku, dia jadi memikirkanku sampai seperti ini.
“justru kalau kau bercerita hal yang sebenarnya, aku jadi...............….” Kata-kata kak ritsu tiba-tiba terhenti.
“jadi?” aku menatapnya penasaran ingin tahu kata selanjutnya.
“aku jadi bisa menolongmu dan tidak melihatmu menderita seperti ini ai! A..aku sakit melihatmu begini! Aku tidak mau kehilanganmu! A..a..akuu…...........”
aku meletakkan tanganku di bibirnya, sebuah simpul senyum kuukir untuknya.
“kakak, sudahlah.. kakak tidak perlu menyalahkan diri kakak sendiri. Maafkanlah ai,kak. A,ai berjanji akan selalu di samping kakak. Selamanya... ”
Aku melihat kak ritsu menangis. Air matanya jatuh tepat di atas tanganku yang terus ia genggam sedari tadi. Tanganku yang satu mengusap kepalanya. Ia memelukku dan kubalas. Suasana kamar nomor 243 di sebuah rumah sakit di kota Osaka kala itu begitu sunyi. Hanya terlihat kibasan gordeyn tipis dan vas di sudut bingkai jendela yang berisi bunga daffodile putih yang menyegarkan ruangan kala itu. Semuanya seolah terdiam…

88888888888888888888888888888888888888888888888

Pagi itu, aku terbangun. Seorang perawat datang dengan mendorong sebuah trolley berisi obat-obatan dan alat pengukur tensi serta seorang dokter di sampingnya. Sudah 16 hari aku dirawat di rumah sakit ini. Seusai pemeriksaan dan melakukan prosedur-prosedur yang harus di jalankan pasien rawat inap. Aku mendengar derap langkah seseorang datang.
“maaf, aku terlambat ya?”katanya dengan napas separuh tersengal.
Rupanya kak ritsu yang datang dengan membawa tas belanja besar berisi makanan dan buah. Ia tampak tersengal karena berlari. Ia selalu datang tepat waktu dan tidak pernah mengecewakanku.
“ai! lihat apa ini yang ku bawa?ayo tebak?” kak ritsu tampak sibuk membuka tas ransel besarnya dan tersenyum jahil.
“ wahh, terima kasih” kataku senang. Kak ritsu sangat mengerti apa yang aku sukai. Dia membawakanku sebuah boneka beruang besar dari tasnya dan sebuah lolly choco candy.mataku berbinar melihat benda pemberian kakak itu.
“hmm, sayang.. boleh ai Tanya sesuatu?” pintaku.
“tentu saja. Ada apa, ai?” tanyanya menyambi duduk di kursi sebelah tempat tidurku, kemudian ia menggengam tanganku sambil tersenyum.
“kak, berapa lama ai harus di tempat ini? Apa yang terjadi pada ai? Tolong ceritalah..”
Ia terdiam. Mukanya memucat dan iapun melepaskan genggaman tangannya dariku. Tersirat kesedihan di wajahnya, jelas.
“kak, apa yang..? ada apa sebenarnya?” tanyaku.
“ai.. akuu…. “
“apa? Apa? Ai tidak mengerti? Kakak kumohon ceritakanlah..” aku menatapnya dengan pandangan penuh harap.
“ai.. maafkan aku.. aku tidak bisa.. memberitahumu..” ia memalingkan wajahnya dariku.
Aku menundukkan wajahku sedih, memang aku kecewa mendengarnya. Tapi, aku berusaha mengerti posisinya. Ia pasti menginginkan yang terbaik bagiku. Aku membentuk sedikit simpul senyum yang agak terpaksa untuk menenangkan kak ritsu.
“tidak apa, kak. Ai mengerti kok..” jawabku.
“ai, tadi dokter memberi tahu kabar gembira. Jika keadaanmu terus mengalami kemajuan lusa kau boleh pulang.”
“ya” jawabku.
KLEEKK!!!! KRIEETTT…
Terdengar seseorang akan memasuki kamarku.
“sumimasen… ojama shimasu! Apa benar ini kamar no 243?”
“aaa… tomoyo! Wah, silahkan masuk! “ sahutku.
“hey! Ai-chan.. bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa lebih baik?” Tanya tomoyo basa-basi sambil menaruh sebuah parsel buah di meja sebelah kananku.
“yahh, lusa aku sudah di perbolehkan pulang.”
“fiuh~, syukurlah,ai..” sahut tomoyo tersenyum menghela nafas.
Kemudian pandangan tomoyo tertuju pada kak ritsu yang kehadirannya masih terasa asing baginya.
“ahh, oh, iya.. kenalkan, tomoyo ini ritsu kazama, ritsu ini tomoyo akaneina.. “ kataku
“salam kenal, mohon bamtuannya ya..” keduanya saling bersahutan dan memberi salam.
“ahh, ai-chan. Maaf ya. Aku tidak bisa terlalu lama disini. Aku ada janji dengan seseorang.” Kata tomoyo setelah melihat jam arloji tangan mungil casionya dengan terburu-buru.
“baiklah, silahkan. Terima kasih banyak ya atas kunjungan dan bingkisanya.” Ucapku basa-basi.
“sama-sama, ai. Kudoakan kau lekas sembuh ya.. aku pamit dulu.. sampai jumpa.. dagh~” kata tomoyo sambil mengucap salam berpisah dan cipika-cipiki padaku. Sesaat sebelum ia pergi, aku sempat melihatnya membisikkan suatu hal pada kak ritsu dan kemudian ia merapikan penampilannya dan berpamitan denganku.
tak lama setelah tomoyo tak menunjukan aura kehadirannya. Rasaku yang mulai penasaran mendorongku untuk menanyakannya pada Ritsu.
“kakak… boleh ai bertanya?”
“tentu, ada apa sayang?”
“uhmm.. apa ai boleh tahu apa yang menjadi pembicaraan kalian berdua tadi? Ai penasaran. Kalian tadi tampak membicarakan sesuatu hal yang serius.”
Ahahahahaa~
Tawa kak ritsu meledak dan akupun menunjukkan ekspresi kebinggungan .
“hmm.. tidak apa-apa kok,sayang. Tomoyo hanya mengatakan kalau kau bertambah gendut dari yang sebelumnya.” Ucapnya sambil tertawa cekikikan mengejek, lalu ia membelai kepalaku halus.
“ahhhh.. dasar bodoh! Kakak menyebalkan! huh!” gerutuku layaknya anak TK yang sedang kesal.
Ahahahahahahahahaaaa~
Tawa ritsu semakin kencang dan membahana di seluruh ruangan kamar sampai ketika ada seorang perawat yang kebetulan lewat dan menasehati ritsu karena ia terlalu berisik. Ritsu hanya tertunduk malu dengan muka yang merah seperti buah stroberri. Sedangkan aku, tertawa cekikikan mengamati polahnya yang semakin salah tingkah.


chapter 2: inside..

Thursday, january 25
At 05.00 a.m.
International Hospital, Osaka.

Pukul 05.00, aku sudah terbangun dgn pakaian yang sudah kukemas rapi untuk bersiap pulang. Kak ritsu akan datang sebentar lagi. Akupun duduk di samping jendela kamar sembari menikmati pemandangan matahari terbit di ufuk timur. Warna rona merah, jingga orange dan soft blue bergradasi di iringi hembusan lembut yang mengalun perlahan membawa oksigen yang masuk begitu saja ke paru-paruku. Memang oksigen di pagi hari lebih bagus dari pada oksigen sintetis rumah sakit yang biasa kuhirup.
Tak lama, kak ritsu datang dan membantuku membawa koper berisi pakaian ke mobilnya. Rupanya sebelum ia kemari, ia harus menyelesaikan segala administrasi dan prosedur akhir sebelum keluar dari rumah sakit. Terlihat dari raut wajahnya yang nampak lelah.
Sampai di lobby rumah sakit, ia menyuruhku untuk duduk. sementara ia menggambil obat di apotek rumah sakit dan ia kembali lalu mengajakku masuk ke mobilnya.
“kak ritsu?”
“ya, ai…?” rabanya ke pipiku.
“hmm, aku.. “
“ai? Kau lapar? Mau makan sesuatu? Kita akan berhenti di café depan.”
“ee.. I,iya..”
Akhirnya, kami berhenti di sebuah café kecil yang terletak di ujung sebuah kawasan areal pertokoan yang tak begitu ramai. Kalan itu, hujan memang. Aku dan ritsu mengenakan sebuah payung besar berwarna kuning cerah. Hawanya begitu dingin, kurapatkan jaket sweaterku erat dan kurasakan bibirku bergertar mengigil dan kami mempercepat langkah agar kami tidak basah kuyup. Sesampainya di pinggir café, kak ritsupun mengatupkan payungnya dan membenarkan jampernya. Sementara, aku sibuk mengibaskan pinggiran rokku yang sedikit basah. Sebelum masuk, aku sempat melihat suasana café melalui etalase café. Rasanya di dalam sana tenang. Kamipun tak mau berlama-lama di luar dan segera masuk.
Sesampainya , di dalam suasana tenang dan hangat terasa. Seorang pelayan tua yang ramah menyambut kami dengan senyumnya membawa sebuah nampan perak kecil yang berisi menu dan dua buah handuk kecil kering untuk kami karena kami begitu basah. Kami duduk di deretan no 5 pinggir jendela. Dari situ kami dapat menjangkau pandangan kami ke seluruh ruangan dan juga dapat menikmati pemandangan di luar café yang kala itu sedang hujan. Alunan music jazz mengalun lembut membawa kami terhanyut dalam suasana yang begitu romantic. Pengunjung di sini tidak begitu padat, sehingga suasananya tampak lenggang. Biasanya setiap akhir pekan di ujung sana ada seorang pianist yang memainkan beberapa lagu instrumental terkenal.
“ai..” sapanya memulai percakapan.
“ya. Ada apa?”
“hmm, apa pendapatmu mengenai tempat ini?”
“tempat ini begitu simple, sederhana, hangat dan kurasa tempat ini menarik. Uhm, apa kau mau menjadikan tempat ini sebagai salah satu tempat favorit kita berdua?” ucapku.
“yea, itu ide yang bagus.” Sahutnya.
“hmm, kau ingin pesan apa?” tanyaku.
“aku ingin segelas coffeelatte panas saja. Kau, ai-chan?”
“aku ingin hot Chocolate. ” setelah selesai melihat menu, akupun melambaikan tanganku untuk memanggil pelayan tersebut.
“baiklah, tuan dan nona. Apa ada ingin anda pesan lagi? Kami punya beberapa menu refrensi makanan hangat untuk anda berdua yang sedang kedinginan.” Sapa ramah sang pelayan.
“apa saja menu yang di jadikan refrensi tersebut?” Tanya ritsu.
Sang pelayanpun kembali menyodorkan papan berisi menu dan mulai menunjuk menu-menu yang sekiranya cocok sebagai hidangan untuk kami. Ritsupun tak lupa memilihkanku satu menu yang sesuai dengan kondisiku yang habis sakit.
“baik, tuan dan nona. Harap menunggu hidangan sekitar 15 menit. Terima kasih sudah memesan menu yang kami tawarkan.“ sahut sang pelayan dengan senyumannya yang ramah, kemudian iapun berlalu. Kami kembali melanjutkan perbincangan kami berdua. Sampai tak terasa pesanan kami pun sudah datang. Tanpa pikir panjang kami segera menyantap hidangan hangat dan tampak lezat yang terhidang di depan kami. Aku merasakan sesuatu rasa yang berbeda, benar-benar berbeda dari cita rasa masakan restoran lain. Walaupun, aku sudah berkali-kali menikmati hidangan di berbagai restoran yang ada di kota. Tetapi, kali ini rasa yang tersaji di lidahku benar- benar unik dan surprise. Seakan-akan restoran ini mempunyai ciri khas cita rasa tersendiri bagi lidah pengunjung yang mencicipinya.
“hmm, sepertinya kita tidak salah memilih restoran ini sebagai tempat favorit kita.” Kataku.
"yea.. kau benar.. "gumam ritsu.
"hmm, apa kita bisa pulang sekarang?" tanyaku pada ritsu.
"tentu." sahutnya sambil tersenyum ringan padaku.
lalu, iapun segera meminta BON pada pelayan tersebut dan mengeluarkan credit cardnya untuk melakukan transaksi pembayaran.
aku berjalan menuju pintu sembari melihat ke arah etalase untuk memastikan hujan sudah reda di luar sana.
"hei, ai-chan. apa yang sedang kau lihat? wah, hujan nampaknya sudah berhenti. ayo, kita lekas pulang."
"ya. ayo kita pulang." ajakku riang melepas senyum kearahnya.
kamipun tak melepaskan lekatan tangan kami yang mendinggin dan berjalan hingga tiba tepat di samping pintu mobil.
Namun, beberapa saat sebelum masuk ke dalam mobil, kami sempat saling menadahkan kepala kami dan melihat betapa cerahnya langit yang di penuhi gugusan bintang yang indah membingkai langit kala itu.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please, gimme your comment about this :D

Selasa, 28 Juni 2011

rabbit

Story Title : rabbit life story
Author : Airie Hoshino 〚あいりえ〛
Pairings artist: RitsuXAi
Introduce:
~~Ritsuka kazama as Ritsu-kun
~~Airie hoshino as Ai-chan
Genre : Romance, Daily Life activity, a bit of comedy,many more u can find it on this story. Enjoy, please!^^
Chapter : 1/7
Rating : *****
Disclaimer : story ini di buat berdasarkan hasil imagine saia dan cerita ini adalah sepenuhnya hak cipta berada di tangan saia. This story is originaly made in me. Actually, this is a my old fiction story,(although, ada sebagian cerita berdasarkan pengalaman nyata saia sbg sang author :p ). So~ please DON’T rabbing unless if u’re not have my permit! There, u can follow and givin’ me a comment, suggestion, some Que and whatever u may for my next better story. Sankyuu before ^^
Author prologue: I have this a story idea when I was listened a song “FLY ME TO THE MOON, LOVELY DAY, EYES ON ME, WITHOUT WORDS, CAN YOU HEAR ME?, STILL AS EVER, NOTHIN’ GONNA CHANGE MY LOVE FOR U, and I PROMISE U” lol.. ahahaha..
yea, hope u’ll be enjoyin’ this and givin’ a rate for this (un)important story..
Let’s check this out, reader! :D




chapter 1 : under the rains...

I'm watching, riding the heavy rain
Your voice disappears into the sound of the rain
I looked at the sky that seemed to be crying
Seeming to be crying, you closed your eyes
How long will I be waiting?
A silver raindrop falls between the two of us

888888888888888888888888888888888888888888888888

Langit tampak mendung, angin bertiup tak ramah dan menggamburkan daun-daun kering yang tergeletak di tanah. Aku meraba sebuah kaca tipis dan ku hembuskan nafasku yang sesal. Aku duduk di pinggiran jendela di kamar. Lembaran kain gordeyn jendela berterbangan ke arahku terasa lembut beraturan menyentuh pipiku. Aku menatap lurus kedepan dan kemudian melongohkan wajahku ke arah langit yang mulai menggelap. Aku masih mengenakan sehelai pakaian tidur berwarna putih tipis dan mukaku pun masih pucat pasi. Memang kemarin aku sakit, tapi aku sudah terbiasa. Lagi pula, tidak ada yang peduli padaku. Aku hanya tinggal seorang diri di sebuah apartement mewah yang di tinggalkan oleh orang tuaku sebelum mereka pergi dengan kehidupan mereka. Aku menatap layar ponselku. Ku lihat beberapa sms menumpuk tapi aku malas untuk menjawab ataupun mempedulikannya. Aku bangkit dan duduk di sebuah kaca besar lalu, kurapikan rambutku. Aku berjalan menuruni tangga dan mengambil segelas anggur merah dari botol yang sudah tersedia di meja. Aku berjalan ke ruang depan dan kulihat serangkai bunga crissan putih kesukaan ibuku dalam vas putih segar , kini nampak layu tak terawat. Aku kembali masuk dalam kamarku. Aku menutup gordeyn dan ku tutup mukaku dengan bantal. Air mataku mulai mengalir. Entah mengapa aku mulai menangis. Dadaku sesak. Aku tidak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
Tiba-tiba ponselku bergetar, tertera sebuah nama di layar. Saat ini aku sedang tidak ingin berbicara pada siapapun. Sudah 5 kali ponselku berdering tetapi aku tetap saja tidak mempedulikannya. Sampai 12 kali panggilan tak terjawab dan sampai pada akhirnya 3 buah e-mail masuk di ponselku. Tanganku tergerak penasaran. Segera saja ku sambar ponselku itu, dan kubaca satu persatu pesan yang di kirimkan ke nomerku secara runtut. Kata demi kata yang membentuk sebuah kalimat singkat. Sepertinya sang pengirim sedang khawatir terhadapku. Hal itu ku sadari dari kalimat-kalimat canggung yang tersusun di dalam pesan e-mail tersebut. Tiba-tiba bel berbunyi, mungkin ada tamu pikirku. Kulihat cermin untuk memastikan penampilanku tidak berantakan. Aku berjalan menuju pintu depan sambil merapikan rambutku.
Aku membuka pintu. Kulihat seseorang dengan postur tubuh tinggi tegap dan wajah yang tampak khawatir. Kak ritsu rupanya. Dia adalah pacarku. Dari raut wajahnya yang cemas, pucat dan berkeringat. Yea, mungkin dia menuju kemari dengan terburu-buru karena jelas terlihat dari nafasnya yang tersengal.
“Ai? Apa kamu baik-baik saja?! Aku sangat khawatir dengan kondisimu. Aku sudah meneleponmu berkali-kali tapi hanya pesan mailbox yang kudengar. Untuk itulah aku datang kemari.” katanya dengan nada suara yang agak bergetar.
“Ai, mukamu pucat. Apa kau sakit? Kau demam. “ tangan besarnya seketika meraba keningku.
“Ai, kenapa kau tidak member itahuku kalau kau sakit? Tanganmu sangat dingin.” Ia menggengam tanganku erat, kemudian memelukku dalam dekapannya. Aku diam dengan setetes air mata yang meleleh di pipiku.
Aku masih terdiam memandanginya tanpa sepatah katapun yang keluar dari tenggorokanku. Aku ingin sekali berbicara, tapi aku tidak bisa. Rasanya ada sesuatu benda yang menyumbat pita suaraku. Setelah itu, Ia membopohku masuk dan kamipun duduk di sofa ruang tengah. Aku menyandarkan kepalaku di kursi. Dia segera masuk kedapur untuk mengambil segelas air minum dan es untuk mengompresku.
Aku masih duduk di sofa menunggunya. Tak lama kemudian ia datang. Sebaskom es dengan handuk kecil basah berwarna biru muda dan secangkir susu hangat kesukaanku ia bawakan untukku. Kak Ritsu duduk tepat di sampingku. Handuk basahnya ia letakkan di atas dahiku, dan badanku di rebahkan ke pangkuannya. Aku memejamkan mata. Tak terasa air mataku kembali turun.
“kakak... maafkan ai ya..”akhirnya suaraku berhasil keluar walau sangat pelan.
“sudahlah,ai.. bukan salahmu. Kau hanya kacau hari ini. Kau sedang sakit. Sudah istirahat saja. Nanti aku akan menelepon tempat kerjamu untuk meminta ijin.”
“ta, tapii... kak....”
“sudah ai, tidak apa-apa. Kau sudah terlalu sering memaksakan dirimu. Aku tidak akan membiarkanmu tersiksa karena kau terlalu sering memforsir tubuhmu.” Katanya sambil mengelus kepalaku perlahan.
Aku terdiam membisu. Kepalaku sangat sakit. Rasanya benda di sekelilingku berputar. Aneh. Tetapi entah kenapa, rasanya kali ini benar-benar berbeda. Atmosfer di sekelilingku berubah menjadi tenang. Aku tidak lagi merasakan kegelisahan. Aku akhirnya tertidur di pangkuan kak ritsu. Ia masih terus merawatku. Kurasakan belaian tangan hangatnya menyentuh wajahku perlahan. Air dingin dari es membuat tubuhku gemetar. Kemudian ritsu menarik selimutku sampai dagu. Aku tahu dia sangat menyayangiku.
Jam demi jam berlalu. Aku masih terlelap. Sekilas aku merasakan sesuatu yang sangat lembut. Manis dan basah. Ia menciumku rupanya. Mataku terbuka sedikit walau masih terkantuk. Wajahku memerah bata. Aku terbangun dan bangkit dari pangkuanya. Aku kaget. Akupun bergegas pergi meninggalkannya. Aku berjalan terhuyung-huyung tanpa arah. Kurasa aku masih linglung. Aku berjalan menuju anak tangga. Tetapi, tiba-tiba semua menjadi gelap. Tanpa sadar aku telah terjatuh.
Aku tidak bisa melihat apapun di sini. Aku hanya bisa mendengar suara-suara yang samar.suara teriakan, teriakan yang panik. Tubuhku seperti diguncang dan di hempas ke suatu benda yang sangat tajam. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya aku semakin terhanyut oleh suasana yang asing dan gelap ini. Aku tenggelam ke dasar kegelapan tak berujung.
Di dalam bawah sadarku, aku melihat suatu cahaya yang sangat terang. Entah mengapa, kakiku langsung tertarik maju kearah cahaya itu. Aku tidak bisa menahan atmosfer dan kekuatan kakiku yang terus melangkah ke arah lubang misterius itu.
Saat terakhir aku melangkahkan kaki. Tiba-tiba tanganku ditarik untuk segera keluar dari tempat itu. Aku sempat melihat orang yang sanggup menyelamatkanku itu. Ia mengenakan jas toxedo warna putih yang terlihat sangat rapi dan mewah. Senyumannya tak akan pernah ku lupakan. Ia adalah orang yang sangat berharga di hatiku.
Kak RITSUU....

88888888888888888888888888888888888888888888888888888888

Aku terbangun dari tidurku. Mataku perlahan terbuka dan mulai memperhatikan kondisi sekitar. Aku masih belum bisa berfikir karena kepalaku rasanya sangat sakit. Aku mulai mencermati lingkungan ini. Tembok-tembok tinggi bercatkan warna abu-abu dan biru pucat menghiasi setiap sudut ruangan dengan ukuran 4x4 m tersebut. Sekilas tercium aroma obat dan desinfectan yang tersebar dimana-mana.
Tangan kiri ku angkat. Sebuah selang panjang berjarum menusuk kulitku. Aku juga meraba perih di keningku yang sepertinya di perban karena efek jatuh dari tangga. Kemudian, Aku menolehkan kepalaku kearah kanan. Seseorang sudah menemaniku di saat aku tidak sadar tadi.
Kakak..
‘apakah ia menemaniku sedari tadi?’ batinku.
Aku mengamati wajahnya seksama dan detail.
Wajahnya begitu nampak pucat bercampur lelah, khawatir dan cemas. Tetap ia setia menungguku sampai aku terbangun kini.
“dasar bodoh! pasti kau sangat lelah dan cemas padaku.”
Aku mengusap kepalanya. Aku membelai rambutnya yang halus,tebal dan lembut. Aroma shampoo yang ia kenakan tercium khas olehku. Aku tersenyum simpul.
“hey, bodoh! Kenapa kau menemaniku sampai larut begini? Kau khan capek. Lihatlah kau tidur sangat nyenyak. Dasarr.. anak aneh..“ gerutuku.
Wajahnya begitu polos, cerah, dan terasa damai ketika tidur.
Aku tertawa kecil. Lalu, kembali mengusap kepalanya. Sejak aku tidak sadarkan diri, dia terus memegang tangan kananku erat.
Aku mencoba untuk sedikit bangkit, walaupun tubuhku terasa sangat berat dan lemas. Aku dengan nakal mencium keningnya.
Tiba-tiba Ia tersentak bangun.
“ai???!!!!”
“kau sudah sadar? Syukurlah.. aku sangat mengkhawatirkanmu..”
“aku tidak apa.” Jawabku dengan sebuah simpul senyum kecil sebagai isyarat menandakan aku dalam keadaan baik kepadanya.
“kau ituu ai!! Selalu saja tidak mau membuat orang lain repot. Kenapa kau tidak menceritakan tentang kondisimu yang sebenarnya jauh hari?” pandangannya menatap tajam penuh ingin tahu. Ia Nampak ingin mendengar jawabku.
“maaf. Aku tidak bisa bercerita hal yang sebenarnya padamu. Aku tidak mau kau ikut menanggung dan merasakan penderitaanku.”aku berpaling. Rasanya aku sangat merasa bersalah untuk menatapnya. Gara-gara aku, dia jadi memikirkanku sampai seperti ini.
“justru kalau kau bercerita hal yang sebenarnya, aku jadi...............….” Kata-kata kak ritsu tiba-tiba terhenti.
“jadi?” aku menatapnya penasaran ingin tahu kata selanjutnya.
“aku jadi bisa menolongmu dan tidak melihatmu menderita seperti ini ai! A..aku sakit melihatmu begini! Aku tidak mau kehilanganmu! A..a..akuu…...........”
aku meletakkan tanganku di bibirnya, sebuah simpul senyum kuukir untuknya.
“kakak, sudahlah.. kakak tidak perlu menyalahkan diri kakak sendiri. Maafkanlah ai,kak. A,ai berjanji akan selalu di samping kakak. Selamanya... ”
Aku melihat kak ritsu menangis. Air matanya jatuh tepat di atas tanganku yang terus ia genggam sedari tadi. Tanganku yang satu mengusap kepalanya. Ia memelukku dan kubalas. Suasana kamar nomor 243 di sebuah rumah sakit di kota Osaka kala itu begitu sunyi. Hanya terlihat kibasan gordeyn tipis dan vas di sudut bingkai jendela yang berisi bunga daffodile putih yang menyegarkan ruangan kala itu. Semuanya seolah terdiam…

88888888888888888888888888888888888888888888888

Pagi itu, aku terbangun. Seorang perawat datang dengan mendorong sebuah trolley berisi obat-obatan dan alat pengukur tensi serta seorang dokter di sampingnya. Sudah 16 hari aku dirawat di rumah sakit ini. Seusai pemeriksaan dan melakukan prosedur-prosedur yang harus di jalankan pasien rawat inap. Aku mendengar derap langkah seseorang datang.
“maaf, aku terlambat ya?”katanya dengan napas separuh tersengal.
Rupanya kak ritsu yang datang dengan membawa tas belanja besar berisi makanan dan buah. Ia tampak tersengal karena berlari. Ia selalu datang tepat waktu dan tidak pernah mengecewakanku.
“ai! lihat apa ini yang ku bawa?ayo tebak?” kak ritsu tampak sibuk membuka tas ransel besarnya dan tersenyum jahil.
“ wahh, terima kasih” kataku senang. Kak ritsu sangat mengerti apa yang aku sukai. Dia membawakanku sebuah boneka beruang besar dari tasnya dan sebuah lolly choco candy.mataku berbinar melihat benda pemberian kakak itu.
“hmm, sayang.. boleh ai Tanya sesuatu?” pintaku.
“tentu saja. Ada apa, ai?” tanyanya menyambi duduk di kursi sebelah tempat tidurku, kemudian ia menggengam tanganku sambil tersenyum.
“kak, berapa lama ai harus di tempat ini? Apa yang terjadi pada ai? Tolong ceritalah..”
Ia terdiam. Mukanya memucat dan iapun melepaskan genggaman tangannya dariku. Tersirat kesedihan di wajahnya, jelas.
“kak, apa yang..? ada apa sebenarnya?” tanyaku.
“ai.. akuu…. “
“apa? Apa? Ai tidak mengerti? Kakak kumohon ceritakanlah..” aku menatapnya dengan pandangan penuh harap.
“ai.. maafkan aku.. aku tidak bisa.. memberitahumu..” ia memalingkan wajahnya dariku.
Aku menundukkan wajahku sedih, memang aku kecewa mendengarnya. Tapi, aku berusaha mengerti posisinya. Ia pasti menginginkan yang terbaik bagiku. Aku membentuk sedikit simpul senyum yang agak terpaksa untuk menenangkan kak ritsu.
“tidak apa, kak. Ai mengerti kok..” jawabku.
“ai, tadi dokter memberi tahu kabar gembira. Jika keadaanmu terus mengalami kemajuan lusa kau boleh pulang.”
“ya” jawabku.
KLEEKK!!!! KRIEETTT…
Terdengar seseorang akan memasuki kamarku.
“sumimasen… ojama shimasu! Apa benar ini kamar no 243?”
“aaa… tomoyo! Wah, silahkan masuk! “ sahutku.
“hey! Ai-chan.. bagaimana keadaanmu? Apa kau merasa lebih baik?” Tanya tomoyo basa-basi sambil menaruh sebuah parsel buah di meja sebelah kananku.
“yahh, lusa aku sudah di perbolehkan pulang.”
“fiuh~, syukurlah,ai..” sahut tomoyo tersenyum menghela nafas.
Kemudian pandangan tomoyo tertuju pada kak ritsu yang kehadirannya masih terasa asing baginya.
“ahh, oh, iya.. kenalkan, tomoyo ini ritsu kazama, ritsu ini tomoyo akaneina.. “ kataku
“salam kenal, mohon bamtuannya ya..” keduanya saling bersahutan dan memberi salam.
“ahh, ai-chan. Maaf ya. Aku tidak bisa terlalu lama disini. Aku ada janji dengan seseorang.” Kata tomoyo setelah melihat jam arloji tangan mungil casionya dengan terburu-buru.
“baiklah, silahkan. Terima kasih banyak ya atas kunjungan dan bingkisanya.” Ucapku basa-basi.
“sama-sama, ai. Kudoakan kau lekas sembuh ya.. aku pamit dulu.. sampai jumpa.. dagh~” kata tomoyo sambil mengucap salam berpisah dan cipika-cipiki padaku. Sesaat sebelum ia pergi, aku sempat melihatnya membisikkan suatu hal pada kak ritsu dan kemudian ia merapikan penampilannya dan berpamitan denganku.
tak lama setelah tomoyo tak menunjukan aura kehadirannya. Rasaku yang mulai penasaran mendorongku untuk menanyakannya pada Ritsu.
“kakak… boleh ai bertanya?”
“tentu, ada apa sayang?”
“uhmm.. apa ai boleh tahu apa yang menjadi pembicaraan kalian berdua tadi? Ai penasaran. Kalian tadi tampak membicarakan sesuatu hal yang serius.”
Ahahahahaa~
Tawa kak ritsu meledak dan akupun menunjukkan ekspresi kebinggungan .
“hmm.. tidak apa-apa kok,sayang. Tomoyo hanya mengatakan kalau kau bertambah gendut dari yang sebelumnya.” Ucapnya sambil tertawa cekikikan mengejek, lalu ia membelai kepalaku halus.
“ahhhh.. dasar bodoh! Kakak menyebalkan! huh!” gerutuku layaknya anak TK yang sedang kesal.
Ahahahahahahahahaaaa~
Tawa ritsu semakin kencang dan membahana di seluruh ruangan kamar sampai ketika ada seorang perawat yang kebetulan lewat dan menasehati ritsu karena ia terlalu berisik. Ritsu hanya tertunduk malu dengan muka yang merah seperti buah stroberri. Sedangkan aku, tertawa cekikikan mengamati polahnya yang semakin salah tingkah.


chapter 2: inside..

Thursday, january 25
At 05.00 a.m.
International Hospital, Osaka.

Pukul 05.00, aku sudah terbangun dgn pakaian yang sudah kukemas rapi untuk bersiap pulang. Kak ritsu akan datang sebentar lagi. Akupun duduk di samping jendela kamar sembari menikmati pemandangan matahari terbit di ufuk timur. Warna rona merah, jingga orange dan soft blue bergradasi di iringi hembusan lembut yang mengalun perlahan membawa oksigen yang masuk begitu saja ke paru-paruku. Memang oksigen di pagi hari lebih bagus dari pada oksigen sintetis rumah sakit yang biasa kuhirup.
Tak lama, kak ritsu datang dan membantuku membawa koper berisi pakaian ke mobilnya. Rupanya sebelum ia kemari, ia harus menyelesaikan segala administrasi dan prosedur akhir sebelum keluar dari rumah sakit. Terlihat dari raut wajahnya yang nampak lelah.
Sampai di lobby rumah sakit, ia menyuruhku untuk duduk. sementara ia menggambil obat di apotek rumah sakit dan ia kembali lalu mengajakku masuk ke mobilnya.
“kak ritsu?”
“ya, ai…?” rabanya ke pipiku.
“hmm, aku.. “
“ai? Kau lapar? Mau makan sesuatu? Kita akan berhenti di café depan.”
“ee.. I,iya..”
Akhirnya, kami berhenti di sebuah café kecil yang terletak di ujung sebuah kawasan areal pertokoan yang tak begitu ramai. Kalan itu, hujan memang. Aku dan ritsu mengenakan sebuah payung besar berwarna kuning cerah. Hawanya begitu dingin, kurapatkan jaket sweaterku erat dan kurasakan bibirku bergertar mengigil dan kami mempercepat langkah agar kami tidak basah kuyup. Sesampainya di pinggir café, kak ritsupun mengatupkan payungnya dan membenarkan jampernya. Sementara, aku sibuk mengibaskan pinggiran rokku yang sedikit basah. Sebelum masuk, aku sempat melihat suasana café melalui etalase café. Rasanya di dalam sana tenang. Kamipun tak mau berlama-lama di luar dan segera masuk.
Sesampainya , di dalam suasana tenang dan hangat terasa. Seorang pelayan tua yang ramah menyambut kami dengan senyumnya membawa sebuah nampan perak kecil yang berisi menu dan dua buah handuk kecil kering untuk kami karena kami begitu basah. Kami duduk di deretan no 5 pinggir jendela. Dari situ kami dapat menjangkau pandangan kami ke seluruh ruangan dan juga dapat menikmati pemandangan di luar café yang kala itu sedang hujan. Alunan music jazz mengalun lembut membawa kami terhanyut dalam suasana yang begitu romantic. Pengunjung di sini tidak begitu padat, sehingga suasananya tampak lenggang. Biasanya setiap akhir pekan di ujung sana ada seorang pianist yang memainkan beberapa lagu instrumental terkenal.
“ai..” sapanya memulai percakapan.
“ya. Ada apa?”
“hmm, apa pendapatmu mengenai tempat ini?”
“tempat ini begitu simple, sederhana, hangat dan kurasa tempat ini menarik. Uhm, apa kau mau menjadikan tempat ini sebagai salah satu tempat favorit kita berdua?” ucapku.
“yea, itu ide yang bagus.” Sahutnya.
“hmm, kau ingin pesan apa?” tanyaku.
“aku ingin segelas coffeelatte panas saja. Kau, ai-chan?”
“aku ingin hot Chocolate. ” setelah selesai melihat menu, akupun melambaikan tanganku untuk memanggil pelayan tersebut.
“baiklah, tuan dan nona. Apa ada ingin anda pesan lagi? Kami punya beberapa menu refrensi makanan hangat untuk anda berdua yang sedang kedinginan.” Sapa ramah sang pelayan.
“apa saja menu yang di jadikan refrensi tersebut?” Tanya ritsu.
Sang pelayanpun kembali menyodorkan papan berisi menu dan mulai menunjuk menu-menu yang sekiranya cocok sebagai hidangan untuk kami. Ritsupun tak lupa memilihkanku satu menu yang sesuai dengan kondisiku yang habis sakit.
“baik, tuan dan nona. Harap menunggu hidangan sekitar 15 menit. Terima kasih sudah memesan menu yang kami tawarkan.“ sahut sang pelayan dengan senyumannya yang ramah, kemudian iapun berlalu. Kami kembali melanjutkan perbincangan kami berdua. Sampai tak terasa pesanan kami pun sudah datang. Tanpa pikir panjang kami segera menyantap hidangan hangat dan tampak lezat yang terhidang di depan kami. Aku merasakan sesuatu rasa yang berbeda, benar-benar berbeda dari cita rasa masakan restoran lain. Walaupun, aku sudah berkali-kali menikmati hidangan di berbagai restoran yang ada di kota. Tetapi, kali ini rasa yang tersaji di lidahku benar- benar unik dan surprise. Seakan-akan restoran ini mempunyai ciri khas cita rasa tersendiri bagi lidah pengunjung yang mencicipinya.
“hmm, sepertinya kita tidak salah memilih restoran ini sebagai tempat favorit kita.” Kataku.
"yea.. kau benar.. "gumam ritsu.
"hmm, apa kita bisa pulang sekarang?" tanyaku pada ritsu.
"tentu." sahutnya sambil tersenyum ringan padaku.
lalu, iapun segera meminta BON pada pelayan tersebut dan mengeluarkan credit cardnya untuk melakukan transaksi pembayaran.
aku berjalan menuju pintu sembari melihat ke arah etalase untuk memastikan hujan sudah reda di luar sana.
"hei, ai-chan. apa yang sedang kau lihat? wah, hujan nampaknya sudah berhenti. ayo, kita lekas pulang."
"ya. ayo kita pulang." ajakku riang melepas senyum kearahnya.
kamipun tak melepaskan lekatan tangan kami yang mendinggin dan berjalan hingga tiba tepat di samping pintu mobil.
Namun, beberapa saat sebelum masuk ke dalam mobil, kami sempat saling menadahkan kepala kami dan melihat betapa cerahnya langit yang di penuhi gugusan bintang yang indah membingkai langit kala itu.
****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

please, gimme your comment about this :D